Asal-usul suku Bajo sesungguhnya dari pulau Sulawesi. Selain menguasai bahasa daerah setempat, mereka juga berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Bajo, serumpun dengan bahasa Bugis – Sulawesi Selatan. Di mana dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan menggunakan bahasa Bajo. Kecuali kalau berada di antara atau bersama warga penduduk setempat. Mereka adalah orang pelaut yang tidak bisa hidup di gunung. Bajo, identik dengan air laut, perahu, dan permukiman dia atas air laut. Bajo artinya mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo. Agama Islam menjadi pilihan satu-satunya bagi seluruh warga Bajo. Bukan suku Bajo kalau tidak beragama Islam dan telah diwariskan turun-temurun. Meski ratusan tahun warga Bajo tinggal di antara penduduk Kristen, mereka tetap menjaga identitas diri mereka sebagai orang yang taat sholat lima waktu dan berpegang tegung pada keyakinan yang diwariskan kepada mereka sejak nenek-moyangnya.
Suku Bajo juga terkenal sangat menghormati adat istiadat masyarakat setempat dan selalu menjaga kerukunan bersama.
Kebersamaan dan persatuan di antara warga suku Bajo sangat kuat. Mereka mampu bertahan di bidang ekonomi, social dan budaya karena persatuan dan kesatuan yang dibangun di natara mereka.
Kerja sama paling nyata diantara warga Bajo terlihat dalam hal mata pencaharian. Misalnya, bila satu keluarga belum mendapatkan perahu untuk menangkap ikan, yang lain pasti akan menyumbangkan perahu Cuma-Cuma. Sikap seperti inipun lahir secara spontanitas dan diwariskan turun-temurun.
Di Pulau Flores, suku ini terpusat di pulau Babi. Selain itu di pulau Pemana, Parumaan, Sukun dan bisa dijumpai hampir di setiap pesisir pantai utara hingga Labuan Bajo – kabupaten Manggarai Barat.
Nyaris tak ada suku Bajo yang menyekolahkan anaknya sampai tingkat perguruan tinggi.
Kebanyak orang tua suku Bajo berpikir, sekolah sampai sarjana pun tidak mendapat tempat yang layak di pemerintahan karena mereka berada di daerah yang dianggap sebagai warga pendatang. Kembali ke kampung asal Sulawesi pun dianggap pendatang karena tidak memiliki kartu tanda penduduk setempat. Suku Bajo diidetifikasi dari bahasa yang digunakan. Di daerah lain mereka tidak menyebut diri suku Bajo, tetapi suku Bugis atau Makassar atau Buton.
Bajo dalam bahasa Lamaholot artinya mendayung perahu. Di beberapa tempat di di Flores Timur, kelompok ini disebut Wajo, Watan, Besidu. Wajo sama artinya dengan Bajo, yakini mendayung, alat pendayung perahu. Watan artinya pantai, atau keseluruhan hidup di pesisir pantai. Besidu, artinya rumah panggung di atas air, kehidupan di atas air laut dengan mata pencaharian sebagai nelayan.
Lalu apa kepentingan suku Bajo untuk kabupaten Sikka? Mantan Bupati Sikka (periode 2004-2008) Alex Longginus pada tanggal 17 April 2007 ketika meresmikan gedung kantor kecamatan Magepanda meminta warga kecamatan Magepanda agar tetap membina persatuan dan kesatuan antar warga di kecamatan tersebut tanpa melihat perbedaan agama dan keyakinan karena semua perbedaan tersebut merupakan asset dan potensi untuk membangun masa depan bersama. Alex mengisahkan, benih persaudaraan antar etnis Flores dan suku Bajo di kecamatan itu telah terukir sejak lama dan sangat baik.
Awal kedatangan suku pelaut ini ke Magepanda adalah untuk berdagang. Ketika mulai menetap di Magepanda, mereka juga melirik dunia pertanian karena potensi hamparan Magepanda untuk persawahan cukup bagus. Saat membaur dengan warga tani setempat mereka melatih petani di sana dalam ketrampilan mengolah sawah karena mereka juga memiliki ketrampilan dalam dunia pertanian di Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai lumbung beras untuk Indoensia Timur. “Alhasil kedatangan suku Bajo memberikan andil dan dampak yang cukup bagus bagi pengembangan lahan pertanian di Magepanda dan sekitarnya,” kata Longginus saat itu. Bila Magepanda saat ini mejadi salah satu daerah lumbung beras untuk Sikka maka potensi itu tidak terlepas dari sumbangan warga Bajo.
Kebersamaan warga Magepanda tergolong sukses dalam meningkatkan kehidupan ekonomi dan industri rumah tangga; itu pun tidak terlepas dari kehadiran masyarakat Bajo dan jalinan persaudaraan yang telah mengakar di sana. Masyarakat Magepanda semakin kokoh mejalin komunikasi, kerjsama dan membina persaudaraan yang sudah dibangun selama ini.
Pecahnya bangunan persaudaraan pada kotak kecil sebuah wilayah kecamatan bisa terjadi di mana-mana. Tafsiran kita, Magepanda juga menyimpan benih perpecahan dimaksud. Peta sosial ekonomi bisa jadi panah pertama yang akan dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang bukan warga Bajo dan etnis Flores. Reaksi masyarakat etnis Flores terhadap beberapa kasus yang mengakumulasi konflik antar etnis di kabupaten Sikka ternyata tidak mengganggu kehidupan warga Bajo. Mereka terlindung dan berada dalam kamar tersendiri, aman dari hentakan reaksioner. Wilayah pesisir kecamatan Magepanda adalah daerah yang potensial di sektor ekonomi, kelautan dan pariwisata serta dunia usaha lainnya. Persoalan kepemilikan lahan adalah satu klep sosial yang harus diamankan selain persoalan lapangan kerja dan kesenjangan ekonomi. Jangan sampai potensi kecamatan Magepanda hanya akan membuat kenyang perut masyarakat luar yang tidak ber-KTP Magepanda. Kaum benalu itu secara perlahan tapi pasti telah mengisap manis madunya Magepanda dan membawanya pergi tanpa peduli pada persoalan sosial dan ekonomi yang akan semakin tajam mengancam kecamatan ini di masa-masa mendatang.
Di luar tafsiran dan bayang-bayang tersebut di atas, pemerintahan mengapresiasikan bahwa kebinekaan dan keanekaragaman masyarakat Magepanda harus menjadi teladan dan contoh untuk masyarakat di daerah lain bahwa perbedaan budaya dan keyakinan bukan merupakan suatu hambatan untuk menjalin kebersamaan, persatuan dan persaudaraan dalam membangun bersama Magepanda menuju masa depan yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment