Aku ini tinggal di Bali sejak 1996 dan sudah jadi warga Bali, tapi pengetahuanku soal sejarah Bali
masih perlu dipertajam lagi. Dibawah ini adalah sumber dari berbagai
website dan komentar yang kukumpulkan untuk tujuan dokumentasi diri
pribadi. Juga akan menyertakan sumber nya dibawah sana. Sudah kubaca dan
semoga yang mampir disini juga menemukan sesuatu yang menarik dan
bermanfaat. Jika dirasa
tulisan ini kurang atau keliru menurut versi sejarah yang dianut, mohon
maaf dan terbuka untuk koreksi/menambahkannya dibawah sana.
Menurut I Wayan Kaler, peradaban di Bali ada 3 periode :
1. Bali Mula
Yaitu Bali yang belum mendapat pengaruh dari luar, dimana masyarakat Bali lebih banyak melakukan ritual untuk menyembah leluhur. Perdaban Bali Mula masih ada sampai sekarang di desa Tenganan Pegringsingan, desa Trunyan dll, dimana di Desa tersebut Dewa yang disembah berbeda dengan Dewa dewa di luar desa tersebut
Sampai sekarang.
Yaitu Bali yang belum mendapat pengaruh dari luar, dimana masyarakat Bali lebih banyak melakukan ritual untuk menyembah leluhur. Perdaban Bali Mula masih ada sampai sekarang di desa Tenganan Pegringsingan, desa Trunyan dll, dimana di Desa tersebut Dewa yang disembah berbeda dengan Dewa dewa di luar desa tersebut
Sampai sekarang.
2. Bali Aga ( awal masehi )
Yaitu. Sewaktu Rsi Markandia dari India Datang ke Bali, yang mana sebelum Beliau Ke Bali, Beliau bertapa di suatu gunung di Jawa timur dan mengajak Suku Aga dari Jawa Timur untuk membuka hutan di Besakih ( Gunung Agung ). Orang Bali Aga sekarang Kebanyakan tinggal di pegunungan dan daerah lainnya di Bali.
Yaitu. Sewaktu Rsi Markandia dari India Datang ke Bali, yang mana sebelum Beliau Ke Bali, Beliau bertapa di suatu gunung di Jawa timur dan mengajak Suku Aga dari Jawa Timur untuk membuka hutan di Besakih ( Gunung Agung ). Orang Bali Aga sekarang Kebanyakan tinggal di pegunungan dan daerah lainnya di Bali.
3. Bali Majapahit ( 1300 Masehi )
Yaitu sewaktu sebelum dan sesudah Ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Dan Gelombang kedua adalah sewaktu runtuhnya Majapahit.
Yaitu sewaktu sebelum dan sesudah Ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Dan Gelombang kedua adalah sewaktu runtuhnya Majapahit.
Waktu. Jatuhnya kerajaan Bedahulu, Bali
tahun 1343, Gajah Mada, Arya Damar dll balik ke Majapahit. Sedangkan
Panglima perang yaitu para Arya seperti Arya Kenceng, Arya Sentong dll
tetap di Bali dan dikasi rakyat dan daerah kekkuasaan di beberapa daerah
di Bali. Sedangkan yang diangkat sebagai Raja di Bali adalah Sri Dalem
Ketut Kresna Kepakisan dari Jawa. Keturunan Beliau yang menjadi raja
sekarang adalah bergelar Ida Dalem Semaraputra yang beristana di Puri
Agung Klungkung, sebelah uatara Kerta Gosa. Mungkin Bapak ( Bapak Raden ?
) Masih ada hubungan dengan Beliau.
Hubungan Jawa Bali memang tidak habis
habisnya untuk dibahas, karena sekarang Orang Bali lagi bersemangat
mencari jejak leluhur di Jawa dan saya tidak tahu apakah Orang Jawa juga
demikian.
Percampuran Jawa Bali melahirkan Tokoh tokoh besar Nusantara yaitu ;
MAHA RAJA AIRLANGGA
Keturan Raja Udayana ( Dinasti Warmadewa Bali ) dan Gunapria Dharmapatni ( Putri Darmawangsa Teguh raja Kahuripan Jawa Timur ) . Dimana semasa pemerintahan beliau menghasilkan karya Sastra, sistim irigasi dan menurunkan Raja raja yang besar.
Keturan Raja Udayana ( Dinasti Warmadewa Bali ) dan Gunapria Dharmapatni ( Putri Darmawangsa Teguh raja Kahuripan Jawa Timur ) . Dimana semasa pemerintahan beliau menghasilkan karya Sastra, sistim irigasi dan menurunkan Raja raja yang besar.
RADEN ARYA WIRARAJA
Putra Manik Angkeran dari Bali dengan Putri Empu Pinatih dari Jawa timur. Beliau adalah Pahlawan besar di Pemekasan dan Lumajang. Keturunan Beliau di Bali dikenal dengan Arya Wang Bang Pinatih yang sekarang menjalin hubungan denngan keturunan Beliau di Jawa.
Putra Manik Angkeran dari Bali dengan Putri Empu Pinatih dari Jawa timur. Beliau adalah Pahlawan besar di Pemekasan dan Lumajang. Keturunan Beliau di Bali dikenal dengan Arya Wang Bang Pinatih yang sekarang menjalin hubungan denngan keturunan Beliau di Jawa.
RATU TRIBUANA TUNGGADEWI
Keturunan Raden Wijaya dengan seorang Putri dari Bangli, Bali yang bernama Tri Buana.
Keturunan Raden Wijaya dengan seorang Putri dari Bangli, Bali yang bernama Tri Buana.
UNTUNG SURAPATI
Seorang Budak dari Bali yang sebenarnya keturunan bangsawan Bali yaitu I Gusti Ngurah Jekantik ( keturunan Arya Kepakisan VI ). Beliau kawin dengan beberapa Putri Bangsawan Jawa dan melahirkan Pahlawan Pahlawan jaman Penjajahan Belanda.
Seorang Budak dari Bali yang sebenarnya keturunan bangsawan Bali yaitu I Gusti Ngurah Jekantik ( keturunan Arya Kepakisan VI ). Beliau kawin dengan beberapa Putri Bangsawan Jawa dan melahirkan Pahlawan Pahlawan jaman Penjajahan Belanda.
BUNG KARNO
Ibunya adalah seorang putri Brahmana dari Buleleng Bali dan ayah beliau adalah keturunan Bangsawan Jawa. Siapa yang tidak kenal Bung Karno.
Ibunya adalah seorang putri Brahmana dari Buleleng Bali dan ayah beliau adalah keturunan Bangsawan Jawa. Siapa yang tidak kenal Bung Karno.
Saya yakin, banyak saudara saaudara Bapak
di Bali. Dan memang benar apa kata Sopir Taxi, bahwa sebagian besar
leluhur orang Bali tertulis di Lontar ( Babad / Prasasti ) dan dipuja
seperti memuja Dewa Dewi. Dan orang Bali tahu betul asal leluhurnya di
Jawa kalau memang leluhurnya dari Jawa.
Asal-Usul Bali dan Pura Besakih (Maha Rsi Markandeya dan Orang Bali Aga)
Orang-orang keturunan Austronesia telah
menyebar di seluruh wilayah Bali. Mereka tinggal berkelompok-kelompok
dengan Jro-jronya (pemimpin-pemimpinnya masing-masing).
Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi desa-desa di Bali mereka
adalah Orang Bali Mula, dan mereka dikenal dengan nama Pasek Bali.
Ketika itu, orang-orang Bali mula belum
menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur yang mereka namakan
Hyang. Menurut para ahli, kondisi spiritual masyarakat Bali pada saat
itu masih kosong. Keadaan yang demikan ini berlangsung hingga awal tarih
masehi kurang lebih sekitar abad pertama masehi. Dengan keadaan Bali
yang demikian maka mulailah berdatangan orang-orang dari luar Bali ke
pulau ini. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, mereka juga ingin
memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Untuk hal tersebut
datanglah seorang rsi ke Bali yang bernama Maharsi Markandeya.
Menurut sumber–sumber berupa lontar,
sastra, dan purana, Maharsi Markandeya berasal dari India. Seperti
dinyatakan sebagai berikut dalam Markandeya Purana, “Sang Yogi
Markandeya kawit hana saking Hindu” yang artinya “sang yogi Markandeya
asal mulanya adalah dari India”. Dari data-data yang di dapatkan nama
Markandeya bukan nama perorarangan, melainkan adalah nama perguruan atau
nama pasraman seperti halnya juga nama Agastya. Perguruan atau pasraman
adalah lembaga yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran dari
guru-guru sebelumnya. Kebiasaan secara tradisi yang diturunkan dari
generasi ke generasi untuk melanjutkan tradisi dari guru sebelumnya,
yaitu dari guru ke murid dan seterusnya. Garis perguruan turun temurun
ini di sebut Parampara, dan tiap-tiap parampara menyusun pokok-pokok
ajarannya, dari parampara yang telah mengangkat guru dan murid untuk
melanjutkan garis perguruan ini dinamakan Sampradaya. Dari tiap-tiap
sampradaya menyusun pokok-pokok ajarannya dari sumber-sumber yaitu,
Catur Weda, Purana, Upanisad, Wedanta Sutra, dan Itihasa. Walaupun
memiliki pandangan yang berbeda, namun mereka mengambilnya dari Weda
dengan tradisi turun-temurun yang sama dalam menafsirkan dan mengajarkan
pokok-pokok ajaran di dalam Weda. Demikian akhirnya, pustaka-pustaka
suci tersebut disebarkan, dimana di antaranya adalah Markandeya Purana,
Garuda Purana, Siva Purana, Vayu purana, Visnu Purana dan lain
sebagainya. Bahkan dari tiap generasi ke generasi terdapat nama diksa
(inisiasi) yang sama dengan nama pendahulunya. Jadi sang Maharsi
Markandeya adalah seorang rsi dari garis perguruan yang namanya sama
dengan nama pendahulunya di India, beliau datang ke Indonesia untuk
menyebarkan agama Hindu, terutama paham Waisnava (pemuja Wisnu).
Ketika tiba di Indonesia, Maharsi
Markandeya berasrama di wilayah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Lalu
beliau ber-dharmayatra ke arah timur, dan tibalah di Gunung Raung, Jawa
Timur. Disini beliau membuka pasraman dimana beliau di dampingi oleh
murid-murid beliau yang di sebut Wong Aga (orang-orang pilihan).
Beberapa tahun kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur, tepatnya
ke pulau Bali yang ketika itu masih kosong secara spiritual. Disamping
untuk mengajarkan agama Hindu, beliau juga ingin mengajarkan
teknik-teknik pertanian secara teratur, bendungan atau sistem irigasi,
peralatan untuk yajna dan lain-lain. Perjalanan beliau diiringi oleh 800
orang murid-muridnya.
Saat datang pertama kali ke Bali, beliau
datang ke Gunung Tohlangkir. Disana beliau dan murid-muridnya merabas
hutan untuk lahan pertanian, tetapi sayangnya banyak murid-muridnya
terkena penyakit aneh tanpa sebab, ada juga yang meninggal diterkam
binatang buas seperti mranggi (macan), ada yang hilang tanpa jejak,
bahkan ada yang gila. Melihat keadaan demikian, Maharsi Markandeya
memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung, lalu beliau beryoga untuk
mengetahui bencana yang menimpa murid-muridnya ketika ke Bali. Akhirnya
beliau mendapatkan petunjuk bahwa terjadinye bencana tersebut adalah
karena beliau tidak melaksanakan yajna sebelum membuka hutan itu.
Setelah mendapatkan petunjuk, Maharsi
Markandeya kembali lagi datang ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir.
Kali ini beliau hanya mengajak 400 orang muridnya. Tapi sebelum merabas
hutan dan kembali mengambil pekerjaan sebelumnya, Maharsi Markandeya
melakukan upacara ritual, berupa yajna, agni hotra, dan menanam panca
datu di lereng Gunung Tohlangkir, Nyomia, dan upacara Waliksumpah untuk
menyucikan dan mengharmoniskan tempat tersebut. Demikianlah akhirnya
semua pengikut beliau selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu,
Maharsi Markandeya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan nama
Wasuki, kemudian berkembang menjadi nama Basukian dan dalam perkembangan
selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki yang
artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama
Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah
pura yang diberi nama Pura Besakih. Dan Maharsi Markandeya mengganti
nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Tidak hanya itu saja,
Maharsi Markandeya akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang
berarti persembahan atau korban suci, dan dikemudian hari dikenal
dengan nama Bali Dwipa atau sekarang dikenal dengan nama Bali, dimana
semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna
atau korban suci. Setelah beberapa tahun lamanya beliau akhirnya menuju
arah barat untuk melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu daerah datar
dan luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan
murid-muridnya merebas hutan. Wilayah yang datar dan luas itu dinamakan
Puwakan, kemudian dari kata puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu
menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi Subak.
Di tempat ini beliau menanam berbagai jenis
pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan
baik. Oleh karenanya tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba
ada. Karena keadaan ini dapat terjadi karena kehendak Tuhan lewat
perantara sang maharsi. Kehendak bahasa Balinya kahyun, kayu bahasa
sansekertanya taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal dengan
nama Taro dikemudian hari, yang terletak di kabupaten Gianyar. Di
wilayah ini Maharsi Markandeya mendirikan pura sebagai kenangan terhadap
pasramannya di gunung raung. Pura ini dinamakan Pura Gunung Raung,
bahkan hingga saat ini di bukit tempat beliau beryoga juga di dirikan
sebuah pura yang kemudian dinamakan Pura Luhur Payogan, yang letaknya di
Campuan, Ubud. Pura ini juga disebut pura Gunung Lebah. Selanjutnya
Mahasri Markandeya pergi ke arah barat dari arah Payogan dan kemudian
membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa, sedangkan wilayahnya
dan sebagainya di beri nama Parahyangan kemudian orang-orang menyebutnya
dengan sebutan Pahyangan. Dan sekarang tempat tersebut dikenal dengan
Payangan.
Orang-orang Aga, murid-murid maha rsi
markandeya menetap di desa-desa yang dilalui oleh beliau, mereka membaur
dengan orang-orang Bali mula, bertani dan bercocok tanam dengan cara
yang sangat teratur, menyelenggarakan yajna seperti yang di ajarkan oleh
Maharsi Markanadeya. Dengan cara demikian terjadilah pembauran
orang-orang Bali mula dan orang-orang Aga, kemudian dari pembauran ini
mereka dikenal dengan nama Bali Aga yang berarti pembauran penduduk bali
mula dengan orang-orang aga, murid Maharsi Markandeya, dengan adanya
hal ini, maka Hindu dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali
mula ketika itu. Sebagai rohaniawan (pandita) orang-orang Bali Aga
dimana Maharsi Markandeya menjadi pendirinya, maka orang-orang Bali Aga
dikenal dengan nama Warga Bhujangga Waisnava.
Dalam jaman kerajaan Bali, terutama zaman
Dinasti Warmadewa. Warga Bhujangga Waisnsava selalu menjadi purohito
(pendeta utama kerajaan) yang mendampingi raja, antara lain Mpu Gawaksa
yang dinobatkan oleh sang ratu Sri Adnyadewi tahun 1016 M, sebagai
pengganti Mpu Kuturan. Ratu Sri Adnyadewi pula yang memberikan wewenang
kepada sang guru dari Warga Bhujangga Waisnava untuk melaksanakan
upacara Waliksumpah ke atas, karena beliau mampu membersihkan segala
noda di bumi ini, bahkan sang ratu mengeluarkan bhisama kepada seluruh
rakyatnya yang berbunyi : “Kalau ada rsi atau wiku yang meminta-minta,
peminta tersebut sama dengan pertapa, jika tidak ada orang yang
memberikan derma kepada petapa itu, bunuhlah dia dan seluruh miliknya
harus diserahkan kepada pasraman. Dan apa bila terjadi kekeruhan di
kerajaan dan di dunia, harus mengadakan upacara Tawur, Waliksumpah,
Prayascita (menyucikan orang-orang yang berdosa), Nujum, orang-orang
yang mengamalkan ilmu hitam haruslah sang guru Bhujangga Waisnava yang
menyucikannya, sebab sang guru Bhujangga Waisnava seperti angin,
bagaikan Bima dan Hanoman, itu sebabnya juga sang guru Bhujangga
Waisnava berkewajiban menyucikan desa, termasuk hutan, lapangan, jurang.
Oleh karena sang guru Bhujangga Waisnava sebaik Bhatara Guru, boleh
menggunakan segala-galanya dan dapat melenyapkan hukuman”.
Kemudian pada masa pemerintahan Sri
Raghajaya tahun 1077 M yang diangkat menjadi purohito kerajaan adalah
Mpu Andonamenang dari keluarga Bhujangga Vaisnava. Lalu Mpu Atuk di masa
pemerintahan raja Sri Sakala Indukirana tahun 1098 M, kemudian Mpu
Ceken pada masa pemerintahan raja Sri Suradipha tahun 1115–1119 M,
kemudian Mpu Jagathita pada masa pemerintahan Sri Jayapangus tahun 1148
M. Untuk raja-raja selanjutnya selalu ada seorang purohito raja yang
diambil dari keluarga Bhujangga Waisnava dan seterusnya hingga masa
pemerintahan Sri Dalem Waturenggong di Bali. Saat itu yang menjadi
purohito adalah dari griya Takmung dimana beliau melakukan kesalahan
selaku acharya kerajaan yang telah mengawini Dewi Ayu Laksmi yang tidak
lain adalah putri Dalem sendiri selaku sisyanya. Atas kesalahannya ini
sang guru Bhujangga akan dihukum mati, tapi beliau segera menghilang dan
kemudian menetap di daerah Buruan dan Jatiluwih, Tabanan.
Semenjak kejadian tersebut, dalem tidak
lagi memakai purohito dari Bhujangga Waisnava. Sejak itu dan setelah
kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi purohito di ambil alih
oleh Brahmana Siwa dan Budha. Bahkan setelah strukturisasi masyarakat
Bali ke dalam sistem wangsa oleh Danghyang Nirartha atas persetujuan
Dalem, keluarga Bhujanggga Waisnava tidak dimasukkan lagi sebagai warga
brahmana. Namun peninggalan kebesaran Bhujangga Waisnava dalam perannya
sebagai pembimbing awal masyarakat Bali, terutama dari kalangan Bali
Mula dan Bali Aga masih terlihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura
dari masyarakat Bali Aga, selalu ada sebuah pelinggih sebagai sthana
Bhatara Sakti Bhujangga. Alat-alat pemujaan selalu siap pada pelinggih
itu. Orang-orang Bali Aga/Mula cukup nuhur tirtha, tirtha apa saja,
terutama tirta pengentas adalah melalui pelinggih ini. Sampai sekarang
para warga ini tidak pernah/berani mempergunakan atau nuhur Pedanda
Siva. Selain itu, para warga ini tidak pernah mempersembahkan sesajen
dari daging ketika diadakan pujawali dan biasanya mereka menggunakan
daun kelasih sebagai salah satu sarana persembahan selain bunga, air,
api dan buah.
Warga Bhujangga Waisnava, keturunan Maharsi
Markandeya sekarang sudah tersebar di seluruh Bali, pura pedharmannya
ada di sebelah timur penataran agung Besakih di sebelah tenggara
pedharman Dalem. Demikian juga pura-pura kawitannya tersebar di seluruh
Bali, seperti di Takmung, kabupaten Klungkung, Batubulan, kabupaten
Gianyar, Jatiluwih di kabupaten Tabanan dan di beberapa tempat lain di
Bali.
Demikianlah Maharsi Markandeya, leluhur
Warga Bhujangga Waisnava penyebar agama Hindu pertama di Bali dan
warganya hingga saat ini ada yang melaksanakan dharma kawikon dengan
gelar Rsi Bhujangga Waisnava. Sedangkan orang-orang Aga beserta
keturunakannya telah membaur dengan orang-orang Bali Mula atau penduduk
asli Bali keturunan Bangsa Austronesia, dan mereka dikenal dengan nama
orang-orang Bali Aga.
No comments:
Post a Comment